Konsep Aturan Pencemaran Nama Baik Melalui Sarana Teknologi Informasi Media Sosial ( Pasal 27 ayat (3) UU ITE )
Pencemaran nama baik melalui media elektronik merupakan perbuatan pencemaran nama baik yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 310 ayat (1) namun dilakukan dengan menggunakan media elektronik. Pencemaran nama baik melalui media elektronik diatur tersendiri menggunakan pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sehingga kedua ketentuan tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Unsur pidana dalam kedua pasal tersebut yang kemudian dijadikan dasar untuk mengklasifikasikan apakah suatu perkara pencemaran nama baik yang terjadi merupakan pencemaran nama baik biasa atau pencemaran nama baik yang dilakukan melalui media elektronik.
Upaya penanggulangan tindak pidana pencemaran nama baik melalui media elektronik merupakan bentuk perlindungan terhadap kepentingan hukum individu. Kepentingan hukum individu meliputi :
1. Jiwa manusia (leven)
2. Keutuhan tubuh manusia (lyf)
3. Kehormatan seseorang (eer)
4. Kesusilaan (zede)
5. Kemerdekaan pribadi (persoonlyke vryheid)
6. Harta benda/kekayaan (vermogen)
Di dalam Pasal 27 (3) UU ITE pengertian penghinaan dan pencemaran nama baik tidak dijelaskan, namun demikian dapat disimpulkan secara logik (sistematik) bahwa yang dimaksud pencemaran nama baik adalah yang terdapat dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP yang dihubungkan dengan Pasal 310 ayat (2) dan Pasal 315 KUHP. Secara eksplisit rumusan Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE berbunyi sebagai berikut:
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/ataupencemaran nama baik dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1 miliar”.
Untuk menjerat pelaku dengan Pasal 27 ayat (3) di atas, terdapat dua hal yang perlu diperhatikan aparat penegak hukum.
Pertama,
terbuktinya unsur subjektif dan unsur objektif tentang Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/ataupencemaran nama baik bersifat komulatif. Artinya, aparat penegak hukum tidak serta merta menyatakan pelaku bersalah melanggar Pasal 27 ayat (3) bila unsur subjektif terbukti, tapi masih harus membuktikan apakah Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/ataupencemaran nama baik memang melanggar nilai-nilai di masyarakat atau tidak.
Dalam hubungan ini, kehadiran para pakar di bidang ITE, Bahasa, dan Pers sangat penting untuk dihadirkan aparat penegak hukum untuk menilai apakah suatu tulisan atau gambar terkait Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tertentu yang didistribusikan, ditransmisikan, atau dapat diakses memiliki muatan penghinaan dan/ataupencemaran nama baik atau tidak. Jadi, bukan berdasarkan pengaduan korban semata apalagi penafsiran sepihak aparat penegak hukum. Selama ini, tidak sedikit insan Pers yang diadili karena pencemaran nama baik lebih didasarkan pada terbuktinya unsur subjektif.
Kedua,
perlunya penambahan satu unsur kesalahan yakni unsur niat jahat (malice) khusus terkait dengan pemberitaan melalui saran ITE. Unsur ini perlu ditambahkan karena pers, lembaga penyiaran dan LSM terkait dengan pemajuan HAM dan kebijakan pemerintahan memiliki kekhususan, yaitu
sebagai institusi sosial yang memiliki peranan penting dalam melakukan fungsi kontrol sosial terhadap penyelenggaraan Negara dan kehidupan kemasyarakatan. Di samping tu, kekhususan pengaturan demikian didukung oleh hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang pengejawantahannya dilakukan oleh mereka.3 Dengan penambahan unsur ini, tidak semua tulisan terkait ITE dikategorikan sebagai melanggar Pasal 27 ayat (3) bila pelakunya memang tidak memiliki niat jahat.
Kelemahan Pasal 27 ayat (3) UU ITE terletak pada ancaman sanksi pidana yang berlaku untuk tujuh bentuk pencemaran nama baik. Padahal, akibat hukum dari masing-masing bentuk pencemaran nama baik tidak sama, sehingga penyamarataan ancaman sanksi tanpa mempertimbangan cara perbuatan dilakukan dan akibatnya tidak tepat berdasarkan doktrin ilmu hukum pidana. Pasal 27 (3) tidak memisah mana yang menjadi unsur pemberat dan mana yang menjadi unsure yang memperingan terkait dengan pencemaran nama baik melalui sarana ITE. Akibatnya, ancaman sanksi pidana pun tidak disamakan untuk semua bentuk pencemaran nama baik.
Ketentuan Pencemaran Nama Baik dalam Undang-Undang ITE
Ketentuan Pasal 27 ayat (3) yang berbunyi, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” dianggap tidak jelas dan tidak lengkap sehingga berpotensi menjerat pihak yang melakukan akses menggunakan teknologi informasi untuk berinteraksi dengan orang lain.
Mahkamah konstitusi yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara konstitusi dalam amar putusannya “Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya” dengan pertimbangan hukum yang pada pokoknya:
1. ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE, menurut Mahkamah, tidak bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28F UUD 1945.
2. kebebasan pers dilaksanakan sesuai kaidah-kaidah pers.
3. Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang ITE diperlakukan sama dengan Pasal 310 KUHP yang mensyaratkan adanya pengaduan (klacht).
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 yang menyatakan menolak permohonan pengujian Undang-Undang ITE, maka ketentuan tersebut masih tetap berlaku. Dengan tetap berlakunya ketentuan Undang-Undang ITE secara khusus Pasal 27 ayat (3), maka penanggulangan tindak pidana pencemaran nama baik melalui media elektronik harus mengacu pada ketentuan tersebut. Disisi lain kententuan Pasal 27 ayat (3) masih harus dikaji ulang agar tidak menimbulkan kontroversi terutama dalam hal penerapan hukumnya.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 poin [3.17.1], mahkamah menyatakan bahwa keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP sebagai genus delict. Berdasarkan pernyataan mahkamah tersebut, seharusnya terdapat kesinambungan antara ketentuan Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang ITE dengan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Mengacu pada putusan Mahkamah konstitusi tersebut, terlihat bahwa Pasal 27 ayat (3) masih multitafsir diantaranya :
1. Penggunaan frasa “ penghinaan dan/atau pencemaran” dalam Pasal 27 ayat (3) menunjukkan bahwa perbuatan penghinaan dan pencemaran merupakan dua perbuatan yang berdiri sendiri. Pengaturan tersebut bertentangan dengan KUHP yang mengatur pencemaran nama baik dalam Pasal 310 dan Pasal 311 sebagai jenis penghinaan.
Terbaru
Terlama
Terbaik