Daftar Isi
Pelecehan Seksual Bukan KESALAHAN Korban
“Yang Melahirkan Peradaban Tidak Pantas Dilecehkan”. Menurut saya, itu adalah kutipan yang menawan dan menghujam ulu hati dengan tepat sasaran bagi insan yang berakal. Memang tidak menutup kemungkinan pria juga bisa mendapat kekerasan seksual, namun pada kebanyakan kasus di lapangan, tragedi ini kerap dialami perempuan, atau karena budaya toxic masculinity menyebabkan pria-pria enggan bersuara. Tanpa memandang bias gender, korban adalah individu yang wajib dilindungi, dibela, diberi rasa aman.
Dewasa ini, fenomena pelecehan seksual kerap menjadi trending topic di berbagai kalangan. Berkat kemajuan teknologi pula, masyarakat sudah banyak yang lebih aware terhadap isu tersebut, meski sebagian lain masih bersikap skeptis dan nirempati terhadap korban, khas leluri victim blaming.
Lantas, apakah pelecehan seksual hanya sebatas kontak fisik antar pelaku dan korban saja? Menurut saya, tidak sekedar hubungan seks atau intercourse. Esensi dari permasalahan ini adalah penyalahgunaan kekuasaan dan otoritas oleh pelaku kepada korban. Umumnya pelaku memanipulasi korban, bahkan diri sendiri untuk meyakini bahwa hal tersebut didasari romansa, suka sama suka, mau sama mau dan mengabaikan consent. Hal ini sejalan dengan defenisi pelecehan seksual menurut Komnas HAM, dimana pelecehan seksual merujuk pada tindakan bernuansa seksusal yang dilanjutkan dengan kontak fisik maupun non-fisik, yang menyasar ke bagian tubuh atau seksualitas seseorang, dimana tindakan ini mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, marah, menimbulkan trauma, bahkan rasa rendah diri, untuk stadium lanjut membahayakan kesehatan mental dan fisik korban.
Komentar-komentar seperti “makanya bajumu itu jangan seperti lacur”, “salah sendiri keluar malam”,”kucing ditawarin ikan asin ya disikat, mana nolak”. dan banyak sebagainya, menjadikan korban enggan untuk membela diri sebagai pihak yang dirugikan. Stigma seperti itu yang memantik rasa takut korban semakin menggila. Hasrat memanglah salah satu karunia dari tuhan, tapi manusia juga dibekali dengan akal untuk menyelaraskan kehidupannya. Manusia bebas berfantasi sebab nafsu, tapi tindakan pelecehan merupakan urusan lain. Orang-orang harus mengontrol sikapnya agar tidak kalap hati mencederai harkat dan martabat manusia lain.
Menurut hasil riset Koalisi Ruang Publik (KRPA) pada 17 Juli 2019 lalu, mengenai busana yang digunakan oleh 32.341 responden survei saat mengalami pelecehan seksual, menunjukkan bahwa 5 jenis pakaian yang menempati top tier adalah rok/celana panjang, hijab, baju lengan panjang,seragam sekolah, dan baju longgar. Hasil survei ini jelas menunjukkan bahwa tidak ada koherensi antara pakaian yang dikenakan korban dengan pelecehan seksual. Bahkan pada tempat ibadah sekalipun, tempat yang suci nan sakral, hal tersebut dapat terjadi, salah satu contoh kasus adalah insiden pelecehan jamaah perempuan yang tengah menunaikan ibadah solat di salah satu mesjid Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Hal ini telah terjadi berulang kali pula di mesjid sekitar dan terekam oleh CCTV, memang otak pelakunya saja yang gendeng.
Berdasarkan sebuah studi yang dilakukan International Labour Organization (ILO), atau Organisasi Buruh Internasonal, “Pelecehan seksual berkaitan erat dengan kekuasaan dan sering terjadi dalam masyarakat yang memperlakukan perempuan hanya sebatas obejek seks dan warga kelas 2”. Contohnya adalah saat perempuan diminta melakukan perbuatan seksual dan diiming-imingi akan memperoleh imbalan berupa uang, pekerjaan, promosi jabatan, atau kenaikan gaji. Contoh lain dari sexual harassment paling umum adalah catcalling atau menggoda dengan kata-kata, me-rating berdasarkan penampilan/atribut fisik seseorang, siulan bernada seksual, ancaman/penyuapan untuk aktivitas seksual yang tidak diinginkan, menguntit/stalking, hingga pemerkosaan.
Pelecehan seksual sendiri bisa dilakukan oleh siapa saja, dimana saja, dan kapan saja. Dapat berupa verbal, fisik, non-fisik, dan daring melalui teknologi informasi dan komunikasi. Benar, pelecehan seksual tidak hanya ada di real life, namun juga bisa terjadi di dunia maya. Contohnya adalah cuitan-cuitan cabul yang ada pada postingan seseorang di Instagram, penyebaran rekaman video seks atau PAP bugil oleh mantan kekasih, bahkan menjamurnya kasus pencomotan gambar “normal” seseorang melalui platform sosial media, yang diedit sedemikian rupa menggunakan teknologi artificial intellegence menjadi foto bahkan video porno.
Berhentilah mengatur lalu mengekang anak perempuan, karena bahaya laten ada pada anak lelaki yang tidak berpendidikan. Sebagai perempuan, saya sepakat dengan paham kalimat tersebut. Menurut perspektif saya menjadi perempuan sangat menyulitkan jika tidak ada kebijakan yang mampu benar-benar melindungi kami. Setiap elemen masyarakat seharusnya memberi ruang aman untuk perempuan, berintegrasi menciptakan lingkungan sosial yang sehat dan saling menghormati antar gender. Saya optimis generasi mendatang akan menjadi lebih baik jika diberi pengajaran mengenai edukasi seks yang benar, meski dianggap tabu oleh society agar lebih peka membedakan consent/persetujuan atau pemaksaan. Serta belajar menerima penolakan dari orang lain agar tidak bertindak egois dan berujung melecehkan.
Penulis : Yoari
Terbaru
Terlama
Terbaik